BAB 11
HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL
1.
Pengertian
Hak Atas Kekayaan Intelektual adalah
hak eksklusif yang diberikan suatu hukum atau peraturan kepada seseorang atau
sekelompok orang atas karya ciptanya. Menurut UU yang telah disahkan oleh
DPR-RI pada tanggal 21 Maret 1997, HaKI adalah hak-hak secara hukum yang
berhubungan dengan permasalahan hasil penemuan dan kreativitas seseorang atau
beberapa orang yang berhubungan dengan perlindungan permasalahan reputasi dalam
bidang komersial (commercial reputation) dan tindakan / jasa
dalam bidang komersial (goodwill).
Dengan begitu obyek utama dari HaKI
adalah karya, ciptaan, hasil buah pikiran, atau intelektualita manusia. Kata
“intelektual” tercermin bahwa obyek kekayaan intelektual tersebut adalah
kecerdasan, daya pikir, atau produk pemikiran manusia (the Creations of the
Human Mind) (WIPO, 1988:3). Setiap manusia memiliki memiliki hak untuk
melindungi atas karya hasil cipta, rasa dan karsa setiap individu maupun
kelompok.
2.
Prinsip-prinsip Hak Kekayaan Intelektual
Prinsip-prinsip Hak atas Kekayaan
Intelektual (HaKI) adalah sebagai berikut :
a. Prinsip Ekonomi
Dalam prinsip ekonomi, hak
intelektual berasal dari kegiatan kreatif dari daya pikir manusia yang memiliki
manfaat serta nilai ekonomi yang akan member keuntungan kepada pemilik hak
cipta.
b. Prinsip Keadilan
Prinsip keadilan merupakan suatu
perlindungan hukum bagi pemilik suatu hasil dari kemampuan intelektual,
sehingga memiliki kekuasaan dalam penggunaan hak atas kekayaan intelektual
terhadap karyanya.
c. Prinsip Kebudayaan
Prinsip kebudayaan merupakan
pengembangan dari ilmu pengetahuan, sastra dan seni guna meningkatkan taraf
kehidupan serta akan memberikan keuntungan bagi masyarakat, bangsa dan Negara.
d. Prinsip Sosial
Prinsip sosial mengatur kepentingan
manusia sebagai warga Negara, sehingga hak yang telah diberikan oleh hukum atas
suatu karya merupakan satu kesatuan yang diberikan perlindungan berdasarkan
keseimbangan antara kepentingan individu dan masyarakat/ lingkungan.
3.
Klasifikasi Hak Atas Kekayaan Intelektual (HaKI)
Secara umum Hak atas Kekayaan
Intelektual (HaKI) terbagi dalam dua kategori, yaitu :
-
Hak Cipta
-
Hak Kekayaan
Industri
Hak kekayaan industri adalah hak
yang mengatur segala sesuatu milik perindustrian, terutama yang mengatur
perlindungan hukum. Hak kekayaan industri sangat penting untuk didaftarkan oleh
perusahaan-perusahaan karena hal ini sangat berguna untuk melindungi kegiatan
industri perusahaan dari hal-hal yang sifatnya menghancurkan seperti
plagiatisme. Dengan di legalkan suatu industri dengan produk yang dihasilkan
dengan begitu industri lain tidak bisa semudahnya untuk membuat produk yang
sejenis/ benar-benar mirip dengan mudah. Dalam hak kekayaan industri salah
satunya meliputi hak paten dan hak merek. Hak kekayaan indutri meliputi :
- Hak Paten
- Hak Merek
- Hak Desain Industri
- Hak Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu
- Hak Rahasia Dagang
- Hak Indikasi
4.
Dasar Hukum Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia
Dalam penetapan HaKI tentu
berdasarkan hukum-hukum yang sesuai dengan peraturan yang berlaku. Dasar-dasar
hukum tersebut antara lain adalah :
-
Undang-undang
Nomor 7/1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing the World Trade
Organization (WTO)
-
Undang-undang
Nomor 10/1995 tentang Kepabeanan
-
Undang-undang
Nomor 12/1997 tentang Hak Cipta
-
Undang-undang
Nomor 14/1997 tentang Merek
-
Undang-undang
Nomor 13/1997 tentang Hak Paten
-
Keputusan
Presiden RI No. 15/1997 tentang Pengesahan Paris Convention for the Protection
of Industrial Property dan Convention Establishing the World Intellectual
Property Organization
-
Keputusan
Presiden RI No. 17/1997 tentang Pengesahan Trademark Law Treaty
-
Keputusan
Presiden RI No. 18/1997 tentang Pengesahan Berne Convention for the Protection
of Literary and Artistic Works
-
Keputusan
Presiden RI No. 19/1997 tentang Pengesahan WIPO Copyrights Treaty
Berdasarkan
peraturan-peraturan tersebut maka Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) dapat
dilaksanakan, maka setiap individu/kelompok/organisasi yang memiliki hak atas
pemikiran-pemikiran kreatif mereka atas suatu karya atau produk dapat diperoleh
dengan mendaftarkannya ke pihak yang melaksanakan, dalam hal ini merupakan
tugas dari Direktorat Jenderal Hak-hak Atas Kekayaan Intelektual,
Departemen Hukum dan Perundang-undangan Republik Indonesia.
5.
Hak Cipta
Hak Cipta adalah Hak khusus bagi
pencipta untuk mengumumkan ciptaannya atau memperbanyak ciptaannya. Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 19/2002 Pasal 1 ayat 1 mengenai Hak Cipta :
-
Hak Cipta
adalah hak eksklusif bagi Pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau
memperbanyak Ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi
pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hak
cipta termasuk kedalam benda immateriil, yang dimaksud dengan hak
milik immateriil adalah hak milik yang objek haknya adalah
benda tidak berwujud (benda tidak bertubuh). Sehingga dalam hal ini bukan fisik
suatu benda atau barang yang di hak ciptakan, namun apa yang terkandung di
dalamnya yang memiliki hak cipta. Contoh dari hak cipta tersebut adalah hak
cipta dalam penerbitan buku berjudul “Manusia Setengah Salmon”. Dalam hak
cipta, bukan bukunya yang diberikan hak cipta, namun Judul serta isi didalam
buku tersebutlah yang di hak ciptakan oleh penulis maupun penerbit buku
tersebut. Dengan begitu yang menjadi objek dalam hak cipta merupakan ciptaan
sang pencipta yaitu setiap hasil karya dalam bentuk yang khas dan menunjukkan
keasliannya dalam ilmu pengetahuan, seni dan sastra. Dasar hukum Undang-undang
yang mengatur hak cipta antara lain :
·
UU Nomor 19
Tahun 2002 tentang Hak Cipta
·
UU Nomor 6
Tahun 1982 tentang Hak Cipta (Lembaran Negara RI Tahun 1982 Nomor 15)
· UU Nomor 7
Tahun 1987 tentang Perubahan atas UU Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta
(Lembaran Negara RI Tahun 1987 Nomor 42)
· UU Nomor 12
Tahun 1997 tentang Perubahan atas UU Nomor 6 Tahun 1982 sebagaimana telah
diubah dengan UU Nomor 7 Tahun 1987 (Lembaran Negara RI Tahun 1997 Nomor 29)
6.
Hak Paten
Menurut Undang-undang Nomor 14/2001
pasal 1 ayat 1, Hak Paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara
kepada Inventor atas hasil penemuannya di bidang teknologi, yang untuk selama
waktu tertentu dalam melaksanakan sendiri penemuannya tersebut atau dengan
membuat persetujuan kepada pihak lain untuk melaksanakannya.
Paten hanya diberikan negara kepada
penemu yang telah menemukan suatu penemuan (baru) di bidang teknologi. Yang
dimaksud dengan penemuan adalah kegiatan pemecahan masalah
tertentu di bidang teknologi, hal yang dimaksud berupa proses, hasil
produksi, penyempurnaan dan pengembangan proses, serta penyempurnaan dan
pengembangan hasil produksi.
Perlindungan hak paten dapat
diberikan untuk jangka waktu 20 tahun terhitung dari filling date.
Undang-undang yang mengatur hak paten antara lain :
·
UU Nomor 6
Tahun 1989 tentang Paten (Lembaran Negara RI Tahun 1989 Nomor 39)
·
UU Nomor 13
Tahun 1997 tentang Perubahan UU Nomor 6 Tahun 1989 tentang Paten (Lembaran
Negara RI Tahun 1997 Nomor 30)
·
UU Nomor 14
Tahun 2001 tentang Paten (Lembaran Negara RI Tahun 2001 Nomor 109).
7.
Hak Merk
Berdasarkan Undang-undang Nomor
15/2001 pasal 1 ayat 1, Hak Merk adalah
tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna,
atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan
digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa.
Merek merupakan tanda yang digunakan
untuk membedakan produk/jasa tertentu dengan produk/jasa yang sejenis sehingga
memiliki nilai jual dari pemberian merek tersebut. Dengan adanya pembeda dalam
setiap produk/jasa sejenis yang ditawarkan, maka para costumer tentu dapat
memilih produk.jasa merek apa yang akan digunakan sesuai dengan kualitas dari
masing-masing produk/jasa tersebut. Merek memiliki beberapa istilah, antara
lain :
·
Merek Dagang
Merek dagang adalah merek yang
digunakan pada barang yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara
bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan barang-barang sejenis
lainnya.
·
Merek Jasa
Merek jasa adalah merek yang
digunakan pada jasa yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang
secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan jasa-jasa sejenis
lainnya.
·
Merek
Kolektif
Merek Kolektif adalah merek yang
digunakan pada barang atau jasa dengan karakteristik yang sama yang
diperdagangkan oleh beberapa orang atau badan hukum secara bersama-sama untuk
membedakan dengan barang atau jasa sejenis lainnya.
Selain itu terdapat pula hak
atas merek, yaitu hak khusus yang diberikan negara kepada pemilik merek
yang terdaftar dalam Daftar Umum Merek untuk jangka waktu tertentu, menggunakan
sendiri merek tersebut atau memberi izin kepada seseorang atau beberapa orang
secara bersama-sama atau badan hukum untuk menggunakannya.
Dengan terdaftarnya suatu merek,
maka sudah dipatenkan bahwa nama merek yang sama dari produk/jasa lain tidak
dapat digunakan dan harus mengganti nama mereknya. Bagi pelanggaran pasal 1
tersebut, maka pemilik merek dapat mengajukan gugatan kepada pelanggar melalui
Badan Hukum atas penggunaan nama merek yang memiliki kesamaan tanpa izin,
gugatan dapat berupa ganti rugi dan penghentian pemakaian nama tersebut.
Selain itu pelanggaran juga dapat
berujung pada pidana yang tertuang pada bab V pasal 12, yaitu setiap orang yang
dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan merek yang sama secara keseluruhan
dengan merek terdaftar milik orang lain atau badan hukum lain, untuk barang
atau jasa sejenis yang diproduksi dan diperdagangkan, dipidana penjara paling
lama tujuh tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000,-
Oleh karena itu, ada baiknya jika
merek suatu barang/jasa untuk di hak patenkan sehingga pemilik ide atau
pemikiran inovasi mengenai suatu hasil penentuan dan kreatifitas dalam
pemberian nama merek suatu produk/jasa untuk dihargai dengan semestinya dengan
memberikan hak merek kepada pemilik baik individu maupun kelompok organisasi
(perusahaan/industri) agar dapat tetap melaksanakan kegiatan-kegiatan
perekonomiannya dengan tanpa ada rasa was-was terhadap pencurian nama merek
dagang/jasa tersebut.
Undang-undang yang mengatur mengenai
hak merek antara lain :
·
UU Nomor 19
Tahun 1992 tentang Merek (Lembaran Negara RI Tahun 1992 Nomor 81)
·
UU Nomor 14
Tahun 1997 tentang Perubahan UU Nomor 19 Tahun 1992 tentang Merek (Lembaran
Negara RI Tahun 1997 Nomor 31)
·
UU Nomor 15
Tahun 2001 tentang Merek (Lembaran Negara RI Tahun 2001 Nomor 110)
Dalam pembahasan ini, dapat
disimpulkan bahwa HaKI adalah bagian penting dalam penghargaan dalam suatu
karya dalam ilmu pengetahuan, sastra maupun seni dengan menghargai hasil karya
pencipta inovasi-inovasi tersebut agar dapat diterima dan tidak dijadikan suatu
hal untuk menjatuhkan hasil karya seseorang serta berguna dalam pembentukan
citra dalam suatu perusahaan atau industri dalam melaksanakan kegiatan
perekonomian.
Sumber :
·
zaki-math.web.ugm.ac.id/matematika/etika_profesi/HAKI_09.ppt
·
puslit.petra.ac.id/journals/pdf.php?PublishedID=DKV02040203
BAB 12
PERLINDUNGAN KONSUMEN
1.
Pengertian Konsumen
Konsumen adalah setiap
orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi
kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan
tidak untuk diperdagangkan. Jika tujuan pembelian produk tersebut untuk dijual
kembali, maka dia disebut pengecer atau distributor. Pada masa sekarang ini
bukan suatu rahasia lagi bahwa sebenarnya konsumen adalah raja sebenarnya, oleh
karena itu produsen yang memiliki prinsip holistic marketing sudah seharusnya
memperhatikan semua yang menjadi hak-hak konsumen .
2.
Asas dan Tujuan Konsumen
Sebelumnya telah
disebutkan bahwa tujuan dari UU PK adalah melindungi kepentingan konsumen, dan
di satu sisi menjadi pecut bagi pelaku usaha untuk meningkatkan kualitasnya.
Lebih lengkapnya Pasal 3 UU PK menyebutkan bahwa tujuan perlindungan
konsumen adalah:
-
Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk
melindungi diri
-
Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari
ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa
-
Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut
hak-haknya sebagai konsumen
-
Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian
hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi
-
Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan
konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha
-
Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha
produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan
konsumen
Asas-asas yang dianut dalam hukum perlindungan konsumen sebagaimana disebutkan
dalam Pasal 2 UU PK adalah:
a.
Asas manfaat
Asas ini mengandung makna bahwa penerapan
UU PK harus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada kedua pihak,
konsumen dan pelaku usaha. Sehingga tidak ada satu pihak yang kedudukannya
lebih tinggi dibanding pihak lainnya. Kedua belah pihak harus memperoleh
hak-haknya.
b.
Asas keadilan
Penerapan asas ini dapat dilihat di Pasal
4 – 7 UU PK yang mengatur mengenai hak dan kewajiban konsumen serta pelaku
usaha. Diharapkan melalui asas ini konsumen dan pelaku usaha dapat memperoleh
haknya dan menunaikan kewajibannya secara seimbang.
c.
Asas keseimbangan
Melalui penerapan asas ini, diharapkan
kepentingan konsumen, pelaku usaha serta pemerintah dapat terwujud secara
seimbang, tidak ada pihak yang lebih dilindungi.
d.
Asas keamanan dan keselamatan konsumen
Diharapkan penerapan UU PK akan memberikan
jaminan atas keamanan dan keselamatan konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan
pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
e.
Asas kepastian hukum
Dimaksudkan agar baik konsumen dan pelaku
usaha mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan
konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum
3.
Hak dan Kewajiban Konsumen
Hak-hak Konsumen
Sesuai dengan Pasal 4 Undang-undang
Perlindungan Konsumen (UUPK), Hak-hak Konsumen adalah :
-
Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang
dan/atau jasa;
-
Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau
jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang
dijanjikan;
-
Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang dan/atau jasa;
-
Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang
digunakan;
-
Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian
sengketa perlindungan konsumen secara patut;
-
Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
-
Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif;
-
Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi/penggantian, apabila barang
dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak
sebagaimana mestinya;
-
Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya
Kewajiban Konsumen
Sesuai dengan Pasal 5 Undang-undang Perlindungan Konsumen, Kewajiban
Konsumen adalah :
-
Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau
pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan.
-
Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa.
-
Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati.
-
Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara
patut.
4.
Hak dan Kewajiban Pelaku usaha
Seperti halnya konsumen,
pelaku usaha juga memiliki hak dan kewajiban. Hak pelaku usaha sebagaimana
diatur dalam Pasal 6 UUPK adalah:
-
Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai
kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
-
Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad
tidak baik;
-
Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum
sengketa konsumen;
-
Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa
kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan;
-
Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Sedangkan kewajiban pelaku usaha menurut
ketentuan Pasal 7 UUPK adalah:
-
Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya.
-
Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan
pemeliharaan.
-
Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif.
-
Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan
berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku.
-
Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang
dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang
dibuat dan/atau yang diperdagangkan.
-
Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat
penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.
-
Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau
jasa yang dterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
Bila diperhatikan dengan seksama, tampak bahwa hak dan kewajiban pelaku
usaha bertimbal balik dengan hak dan kewajiban konsumen. Ini berarti hak bagi
konsumen adalah kewajiban yang harus dipenuhi oleh pelaku usaha. Demikian pula
dengan kewajiban konsumen merupakan hak yang akan diterima pelaku
usaha. Bila dibandingkan dengan ketentuan umum di Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata, tampak bahwa pengaturan UUPK lebih spesifik.
Karena di UUPK pelaku usaha selain harus melakukan kegiatan usaha dengan
itikad baik, ia juga harus mampu menciptakan iklim usaha yang kondusif, tanpa
persaingan yang curang antar pelaku usaha.
5.
Perbuatan yang Dilarang Oleh Pelaku Usaha
Perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha dalam kegiatan pemasaran.
Ketentuan ini diatur di Pasal 9 – 16. Pada Pasal 9 pelaku usaha dilarang
menawarkan, mempromosikan, mengiklan-kan suatu barang dan/atau jasa secara
tidak benar, dan/atau seolah-olah:
a.
Barang tersebut telah memenuhi dan/atau memiliki potongan harga, harga
khusus, standar mutu tertentu, gaya atau mode tertentu, karakteristik tertentu,
sejarah atau guna tertentu
b.
Barang tersebut dalam keadaan baik dan/atau baru
c.
Barang dan/atau jasa tersebut telah mendapatkan dan/atau memiliki sponsor,
persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, ciri-ciri kerja atau
aksesori tertentu
d.
Barang dan/atau jasa tersebut dibuat oleh perusahaan yang mempunyai
sponsor, persetujuan atau afiliasi
e.
Barang dan/atau jasa tersebut tersedia
f.
Barang tersebut tidak mengandung cacat tersembunyi
g.
Barang tersebut merupakan kelengkapan dari barang tertentu
h.
Barang tersebut berasal dari daerah tertentu
i.
Secara langsung atau tidak langsung merendahkan barang dan/atau jasa lain.
j.
Menggunakan kata-kata yang berlebihan, seperti aman, tidak berbahaya, tidak
mengandung risiko atau efek sampingan tanpa keterangan yang lengkap
k.
Menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.
Kemudian pada Pasal 10
ditentukan bahwa pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang
ditujukan untuk diperdagangkan dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan
atau membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan mengenai:
-
Harga atau tarif suatu barang dan/atau jasa
-
Kegunaan suatu barang dan/atau jasa
-
Kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang
dan/atau jasa
-
Tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan
-
Bahaya penggunaan barang dan/atau jasa.
- Klausula Baku dalam Perjanjian
7.
Tanggung Jawab Pelaku Usaha
Tanggung gugat produk timbul dikarenakan kerugian yang dialami konsumen
sebagai akibat dari produk yang cacat, bisa dikarenakan kekurang cermatan dalam
memproduksi, tidak sesuai dengan yang diperjanjikan/jaminan atau kesalahan yang
dilakukan oleh pelaku usaha.
Didalam Pasal 27 disebutkan hal-hal yang membebaskan pelaku usaha dari
tanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen, apabila
-
Barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksud
untuk diedarkan.
-
Cacat barang timbul pada kemudian hari,
-
Cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang,
-
Kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen
-
Lewatnya jangka waktu penuntutan 4 tahun sejak barang dibeli atau lewat
jangka waktu yang diperjanjikan.
8.
Sanksi-sanksi Pelaku Usaha
Sanksi Bagi Pelaku Usaha Menurut Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen.
Sanksi Perdata :
-
Ganti rugi dalam bentuk :
·
Pengembalian uang atau
·
Penggantian barang atau
·
Perawatan kesehatan, dan/atau
·
Pemberian santunan
Ganti rugi diberikan dalam tenggang waktu 7 hari setelah tanggal transaksi Sanksi
Administrasi : maksimal Rp. 200.000.000 (dua ratus juta rupiah), melalui BPSK
jika melanggar Pasal 19 ayat (2) dan (3), 20, 25
Sanksi Pidana :
-
Kurungan :
·
Penjara, 5 tahun, atau denda Rp. 2.000.000.000 (dua milyar rupiah) (Pasal
8, 9, 10, 13 ayat (2), 15, 17 ayat (1) huruf a, b, c, dan e dan Pasal 18
·
Penjara, 2 tahun, atau denda Rp.500.000.000 (lima ratus juta rupiah) (Pasal
11, 12, 13 ayat (1), 14, 16 dan 17 ayat (1) huruf d dan f
Sumber:
BAB 13
Anti Monopoli
dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
1.
Pengertian
Menurut UU
no.5 Tahun 1999 Pengertian Praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat adalah
pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan
dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu
sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan
kepentingan umum.
Undang-Undang
Anti Monopoli No 5 Tahun 1999 memberi arti kepada monopolis sebagai suatu
penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan
jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha (pasal 1 ayat
(1) Undang-undagn Anti Monopoli ). Sementara yang dimaksud dengan “praktek
monopoli” adalah suatu pemusatan kekuatan ekonomi oleh salah satu atau lebih
pelaku yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang
dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan suatu persaingan usaha secara tidak
sehat dan dapat merugikan kepentingan umum. Sesuai dalam Pasal 1 ayat (2)
Undang-Undang Anti Monopoli.
2.
Azas dan Tujuan
Dalam
melakukan kegiatan usaha di Indonesia, pelaku usaha harus berasaskan demokrasi
ekonomi dalam menjalankan kegiatan usahanya dengan memperhatikan keseimbangan
antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum.
Tujuan yang
terkandung di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, adalah sebagai berikut :
a. Menjaga kepentingan umum dan
meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat.
b. Mewujudkan iklim usaha yang kondusif
melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat, sehingga menjamin adanya
kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha
menengah, dan pelaku usaha kecil.
c. Mencegah praktik monopoli dan atau
persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha.
d. Terciptanya efektifitas dan
efisiensi dalam kegiatan usaha.
3.
Kegiatan yang dilarang
Bagian Pertama Monopoli Pasal 17
-
Pelaku usaha
dilarang melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau
jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan
usaha tidak sehat.
-
Pelaku usaha
patut diduga atau dianggap melakukan penguasaan atas produksi dan atau
pemasaran barang dan atau jasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila:
a.
barang dan
atau jasa yang bersangkutan belum ada substitusinya; atau
b.
mengakibatkan
pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam persaingan usaha barang dan atau
jasa yang sama; atau
c.
satu pelaku
usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima puluh
persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
Bagian Kedua Monopsoni Pasal 18
-
Pelaku usaha
dilarang menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal atas barang
dan atau jasa dalam pasar bersangkutan yang dapat mengakibatkan terjadinya
praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
-
Pelaku usaha
patut diduga atau dianggap menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli
tunggal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila satu pelaku usaha atau satu
kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar
satu jenis barang atau jasa tertentu.
Bagian Ketiga Penguasaan Pasar Pasal 19
-
Pelaku usaha
dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri maupun bersama
pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan
atau persaingan usaha tidak sehat berupa:
a. menolak dan atau menghalangi pelaku
usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar
bersangkutan;
b. atau mematikan usaha pesaingnya di
pasar bersangkutan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan
atau persaingan usaha tidak sehat.
Pasal 21
-
Pelaku usaha
dilarang melakukan kecurangan dalam menetapkan biaya produksi dan biaya lainnya
yang menjadi bagian dari komponen harga barang dan atau jasa yang dapat
mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
Bagian
Keempat Persekongkolan Pasal 22
-
Pelaku usaha
dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan atau menentukan
pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak
sehat.
Pasal 23
-
Pelaku usaha
dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mendapatkan informasi kegiatan
usaha pesaingnya yang diklasifikasikan sebagai rahasia perusahaan sehingga
dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
Pasal 24
-
Pelaku usaha
dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk menghambat produksi dan atau
pemasaran barang dan atau jasa pelaku usaha pesaingnya dengan maksud agar
barang dan atau jasa yang ditawarkan atau dipasok di pasar bersangkutan menjadi
berkurang baik dari jumlah, kualitas, maupun ketepatan waktu yang
dipersyaratkan.
4. Perjanjian yang dilarang
a.
Oligopoli
adalah keadaan pasar dengan produsen dan pembeli
barang hanya berjumlah sedikit, sehingga mereka atau seorang dari mereka dapat
mempengaruhi harga pasar.
b.
Penetapan harga
Dalam rangka penetralisasi pasar, pelaku usaha
dilarang membuat perjanjian, antara lain :
-
Perjanjian
dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas barang dan atau jasa
yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang
sama.
-
Perjanjian
yang mengakibatkan pembeli yang harus membayar dengan harga yang berbeda dari
harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang dan atau jasa yang sama.
-
Perjanjian
dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga di bawah harga pasar.
-
Perjanjian
dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa penerima barang dan atau
jasa tidak menjual atau memasok kembali barang dan atau jasa yang diterimanya
dengan harga lebih rendah daripada harga yang telah dijanjikan.
c.
Pembagian wilayah
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku
usaha pesaingnya yang bertujuan untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi
pasar terhadap barang dan atau jasa.
d.
Pemboikotan
Pelaku usaha dilarang untuk membuat perjanjian dengan
pelaku usaha pesaingnya yang dapat menghalangi pelaku usaha lain untuk
melakukan usaha yang sama, baik untuk tujuan pasar dalam negeri maupun pasar
luar negeri.
e.
Kartel
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku
usaha pesaingnya yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur
produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa.
f.
Trust
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku
usaha lain untuk melakukan kerja sama dengan membentuk gabungan perusahaan atau
perseroan yang lebih besar, dengan tetap menjaga dan mempertahankan
kelangsungan hidup tiap-tiap perusahaan atau perseroan anggotanya, yang
bertujuan untuk mengontrol produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau
jasa.
g. Oligopsoni
Keadaan dimana dua atau lebih pelaku usaha menguasai
penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal atas barang dan/atau jasa dalam
suatu pasar komoditas.
h. Integrasi
vertikal
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku
usaha lain yang bertujuan untuk menguasai produksi sejumlah produk yang
termasuk dalam rangkaian produksi barang dan atau jasa tertentu yang mana
setiap rangkaian produksi merupakan hasil pengelolaan atau proses lanjutan baik
dalam satu rangkaian langsung maupun tidak langsung.
i.
Perjanjian tertutup
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku
usaha lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau
jasa hanya akan memasok atau tidak memasok kembali barang dan atau jasa
tersebut kepada pihak tertentu dan atau pada tempat tertentu.
j.
Perjanjian dengan pihak luar negeri
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak
luar negeri yang memuat ketentuan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
5.
Hal-hal yang Dikecualikan dalam Monopoli
Hal-hal yang dilarang oleh
Undang-Undang Anti Monopoli adalah sebagai berikut :
-
Perjanjian-perjanjian
tertentu yang berdampak tidak baik untuk persaingan pasar, yang terdiri dari
a) Oligopoli
b) Penetapan harga
c) Pembagian wilayah
d) Pemboikotan
e) Kartel
f) Trust
g) Oligopsoni
h) Integrasi vertikal
i)
Perjanjian
tertutup
j)
Perjanjian
dengan pihak luar negeri
-
Kegiatan-kegiatan
tertentu yang berdampak tidak baik untuk persaingan pasar, yang meliputi
kegiatan-kegiatan sebagai berikut :
a) Monopol
b) Monopsoni
c) Penguasaan pasar
d) Persekongkolan
-
Posisi
dominan, yang meliputi :
a) Pencegahan konsumen untuk memperoleh
barang atau jasa yang bersaing
b) Pembatasan pasar dan pengembangan
teknologi
c) Menghambat pesaing untuk bisa masuk
pasar
d) Jabatan rangkap
e) Pemilikan saham
f) Merger, akuisisi, konsolidasi
6.
Komisi Pengawasan Persaingan Usaha
Komisi Pengawas Persaingan Usaha
(KPPU) adalah sebuah lembaga independen di Indonesia yang dibentuk untuk
memenuhi amanat Undang-Undang no. 5 tahun 1999 tentang larangan praktek
monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
7.
Sanksi dalam Antimonopoli dan Persaingan Usaha
Pasal 36 UU
Anti Monopoli, salah satu wewenang KPPU adalah melakukan penelitian, penyelidikan
dan menyimpulkan hasil penyelidikan mengenai ada tidaknya praktik monopoli dan
atau persaingan usaha tidak sehat. Masih di pasal yang sama, KPPU juga
berwenang menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar
UU Anti Monopoli.
Apa saja
yang termasuk dalam sanksi administratif diatur dalam
-
Pasal 47
Ayat (2) UU Anti Monopoli.
Meski KPPU hanya diberikan kewenangan menjatuhkan
sanksi administratif, UU Anti Monopoli juga mengatur mengenai sanksi pidana.
-
Pasal 48
menyebutkan mengenai Pidana Pokok. Sementara pidana tambahan dijelaskan dalam
Pasal 49.
Pasal 48
1. Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal
4, Pasal 9 sampai dengan Pasal 14, Pasal 16 sampai dengan Pasal 19, Pasal 25,
Pasal 27, dan Pasal 28 diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp25.000.000.000
(dua puluh lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp100.000.000.000
(seratus miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 6
(enam) bulan.
2. Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal
5 sampai dengan Pasal 8, Pasal 15, Pasal 20 sampai dengan Pasal 24, dan Pasal
26 Undang-Undang ini diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp5.000.000.000 (
lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp25.000.000.000 (dua puluh lima
miliar rupialh), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 5 (lima)
bulan.
3. Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal
41 Undang-undang ini diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp1.000.000.000
(satu miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp5.000.000.000 (lima miliar
rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 3 (tiga) bulan.
Pasal 49
Dengan menunjuk ketentuan Pasal 10
Kitab Undang-undang Hukum Pidana, terhadap pidana sebagaimana diatur dalam
Pasal 48 dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa:
a. pencabutan izin usaha; atau
b. larangan kepada pelaku usaha yang
telah terbukti melakukan pelanggaran terhadap undang-undang ini untuk menduduki
jabatan direksi atau komisaris sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan
selama-lamanya 5 (lima) tahun; atau
c. penghentian kegiatan atau tindakan
tertentu yang menyebabkan timbulnva kerugian pada pihak lain. Aturan ketentuan
pidana di dalam UU Anti Monopoli menjadi aneh lantaran tidak menyebutkan secara
tegas siapa yang berwenang melakukan penyelidikan atau penyidikan dalam konteks
pidana
Sumber :
BAB 14
PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI
1.
Pengertian
Sengketa
Pengertian
sengketa dalam kamus Bahasa Indonesia, berarti pertentangan atau konflik,
Konflik berarti adanya oposisi atau pertentangan antara orang-orang,
kelompok-kelompok, atau organisasi-organisasi terhadap satu objek permasalahan.
Senada
dengan itu Winardi mengemukakan : “Pertentangan
atau konflik yang terjadi antara individu-individu atau kelompok-kelompok yang
mempunyai hubungan atau kepentingan yang sama atas suatu objek kepemilikan,
yang menimbulkan akibat hukum antara satu dengan yang lain”.
Sedangkan menurut
Ali Achmad berpendapat : “Sengketa adalah
pertentangan antara dua pihak atau lebih yang berawal dari persepsi yang
berbeda tentang suatu kepentingan atau hak milik yang dapat menimbulkan akibat
hukum bagi keduanya.
Dari kedua
pendapat diatas maka dapat dikatakan bahwa sengketa adalah prilaku pertentangan
antara dua orang atau lebih yang dapat menimbulkan suatu akibat hukum dan
karenanya dapat diberi sangsi hukum bagi salah satu diantara keduanya
2.
Penyelesaian
Sengketa Ekonomi
Penyelesaian sengketa secara
damai bertujuan untuk mencegah dan mengindarkan kekerasan atau peperangan dalam
suatu persengketaan antar negara.
Menurut pasal 33 ayat 1
(Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan)
Piagam PBB penyelesaian sengketa dapat ditempuh melalui cara-cara sebagai
berikut:
a. Negosiasi
(perundingan)
Perundingan merupakan
pertukaran pandangan dan usul-usul antara dua pihak untuk menyelesaikan suatu
persengketaan, jadi tidak melibatkan pihak ketiga.
b. Enquiry
(penyelidikan)
Penyelidikan dilakukan oleh
pihak ketiga yang tidak memihak dimaksud untuk mencari fakta.
c. Good
offices (jasa-jasa baik)
Pihak ketiga dapat menawarkan
jasa-jasa baik jika pihak yang bersengketa tidak dapat menyelesaikan secara
langsung persengketaan yang terjadi diantara mereka.
Penyelesaian perkara perdata
melalui sistem peradilan:
-
Memberi kesempatan yang tidak adil (unfair), karena
lebih memberi kesempatan kepada lembaga-lembaga besar atau orang kaya.
-
Sebaliknya secara tidak wajar menghalangi rakyat biasa
(ordinary citizens) untuk perkara di pengadilan.
Tujuan memperkarakan suatu
sengketa adalah untuk :
-
Menyelesaikan masalah yang konkret dan memuaskan,
-
Dan pemecahannya harus cepat (quickly), wajar (fairly)
dan murah (inexpensive)
Selain dari pada itu berperkara
melalui pengadilan:
-
Lama dan sangat formalistik (waste of time and
formalistic)
-
Biaya tinggi (very expensive),
-
Secara umum tidak tanggap (generally unresponsive),
-
Kurang memberi kesempatan yang wajar (unfair advantage)
bagi yang rakyat biasa.
Sistem Alternatif Yang
Dikembangkan
a. Sistem
Mediation
Mediasi
berarti menengahi atau penyelesaian sengketa melalui penengah (mediator).
Dengan demikian sistem mediasi, mencari penyelesaian sengketa melalui mediator
(penengah). Dari pengertian di atas, mediasi merupakan salah satu alternatif
penyelesaian sengketa sebagai terobosan atas cara-cara penyelesaian tradisional
melalui litigation (berperkara di pengadilan).
Pada
mediasi, para pihak yang bersengketa, datang bersama secara pribadi. Saling
berhadapan antara yang satu dengan yang lain. Para pihak berhadapan dengan
mediator sebagai pihak ketiga yang netral. Peran dan fungsi mediator, membantu
para pihak mencari jalan keluar atas penyelesaian yang mereka sengketakan.
Penyelesaian yang hendak diwujudkan dalam mediasi adalah compromise atau
kompromi di antara para pihak.
Dalam
mencari kompromi, mediator memperingatkan, jangan sampai salah satu pihak
cenderung untuk mencari kemenangan. Sebab kalau timbul gejala yang seperti itu,
para pihak akan terjebak pada yang dikemukakan Joe Macroni Kalau salah satu
pihak ingin mencari kemenangan, akan mendorong masing-masing pihak menempuh
jalan sendiri (I have may way and you have your way). Akibatnya akan terjadi
jalan buntu (there is no the way).
Cara dan sikap yang seperti
itu, bertentangan dengan asas mediasi:
-
Bertujuan mencapai kompromi yang maksimal,
-
Pada kompromi, para pihak sama-sama menang atau
win-win,
-
Oleh karena itu tidak ada pihak yang kalah atau losing
dan tidak ada yang menang mutlak.
Manfaat yang paling menonjol,
antara lain:
-
Penyelesaian cepat terwujud (quick). Rata-rata kompromi
di antara pihak sudah dapat terwujud dalam satu minggu atau paling lama satu
atau dua bulan. Proses pencapaian kompromi, terkadang hanya memerlukan dua atau
tiga kali pertemuan di antara pihak yang bersengketa.
-
Biaya Murah (inexpensive). Pada umumnya mediator tidak
dibayar. Jika dibayarpun, tidak mahal. Biaya administrasi juga kecil. Tidak
perlu didampingi pengacara, meskipun hal itu tidak tertutup kemungkinannya. Itu
sebabnya proses mediasi dikatakan tanpa biaya atau nominal cost.
-
Bersifat Rahasia (confidential). Segala sesuatu yang
diutarakan para pihak dalam proses pengajuan pendapat yang mereka sampaikan
kepada mediator, semuanya bersifat tertutup. Tidak terbuka untuk umum seperti
halnya dalam proses pemeriksaan pengadilan (there is no public docket). Juga
tidak ada peliputan oleh wartawan (no press coverage).
-
Bersifat Fair dengan Metode Kompromi. Hasil kompromi
yang dicapai merupakan penyelesaian yang mereka jalin sendiri, berdasar
kepentingan masing-masing tetapi kedua belah pihak sama-sama berpijak di atas
landasan prinsip saling memberi keuntungan kepada kedua belah pihak. Mereka
tidak terikat mengikuti preseden hukum yang ada. Tidak perlu mengikuti
formalitas hukum acara yang dipergunakan pengadilan. Metode penyelesaian
bersifat pendekatan mencapai kompromi. Tidak perlu saling menyodorkan
pembuktian. Penyelesaian dilakukan secara: (a) informal, (b) fleksibel, (c)
memberi kebebasan penuh kepada para pihak mengajukan proposal yang diinginkan.
-
Hubungan kedua belah pihak kooperatif. Dengan mediasi,
hubungan para pihak sejak awal sampai masa selanjutnya, dibina diatas dasar
hubungan kerjasama (cooperation) dalam menyelesaikan sengketa. Sejak semula
para pihak harus melemparkan jauh-jauh sifat dan sikap permusuhan
(antagonistic). Lain halnya berperkara di pengadilan. Sejak semula para pihak
berada pada dua sisi yang saling berhantam dan bermusuhan. Apabila perkara
telah selesai, dendam kesumat terus membara dalam dada mereka.
-
Hasil yang dicapai WIN-WIN. Oleh karena penyelesaian
yang diwujudkan berupa kompromi yang disepakati para pihak, kedua belah pihak
sama-sama menang. Tidak ada yang kalah (lose) tidak ada yang menang (win),
tetapi win-win for the beneficial of all. Lain halnya penyelesaian sengketa
melalui pengadilan. Pasti ada yang kalah dan menang. Yang menang merasa berada
di atas angin, dan yang kalah merasa terbenam diinjak-injak pengadilan dan
pihak yang menang.
-
Tidak Emosional. Oleh karena cara pendekatan
penyelesaian diarahkan pada kerjasama untuk mencapai kompromi, masing-masing
pihak tidak perlu saling ngotot mempertahankan fakta dan bukti yang mereka
miliki. Tidak saling membela dan mempertahankan kebenaran masing-masing. Dengan
demikian proses penyelesaian tidak ditunggangi emosi.
b. Sistem
Minitrial
Sistem yang
lain hampir sama dengan mediasi ialah minitrial. Sistem ini muncul di Amerika
pada tahun 1977. Jadi kalau terjadi sengketa antara dua pihak, terutama di
bidang bisnis, masing-masing pihak mengajak dan sepakat untuk saling mendengar
dan menerima persoalan yang diajukan pihak lain:
-
Setelah itu baru mereka mengadakan perundingan
(negotiation),
-
Sekiranya dari masalah yang diajukan masing-masing ada
hal-hal yang dapat diselesaikan, mereka tuangkan dalam satu resolusi
(resolution).
c. Sistem
Concilition
Konsolidasi
(conciliation), dapat diartikan sebagai pendamai atau lembaga pendamai. Bentuk
ini sebenarnya mirip dengan apa yang diatur dalam Pasal 131 HIR. Oleh karena
itu, pada hakikatnya sistem peradilan Indonesia dapat disebut mirip dengan mix
arbitration, yang berarti:
-
Pada tahap pertama proses pemeriksaan perkara, majelis
hakim bertindak sebagai conciliator atau majelis pendamai,
-
Setelah gagal mendamaikan, baru terbuka kewenangan
majelis hakim untuk memeriksa dan mengadili perkara dengan jalan menjatuhkan
putusan.
Akan tetapi, dalam kenyataan praktek, terutama pada saat sekarang; upaya mendamaikan yang digariskan pasal 131 HIR, hanya dianggap dan diterapkan sebagai formalitas saja. Jarang ditemukan pada saat sekarang penyelesaian sengketa melalui perdamaian di muka hakim.
Akan tetapi, dalam kenyataan praktek, terutama pada saat sekarang; upaya mendamaikan yang digariskan pasal 131 HIR, hanya dianggap dan diterapkan sebagai formalitas saja. Jarang ditemukan pada saat sekarang penyelesaian sengketa melalui perdamaian di muka hakim.
Lain halnya
di negara-negara kawasan Amerika, Eropa, maupun di kawasan Pasific seperti
Korea Selatan, Jepang, Hongkong, Taiwan, dan Singapura. Sistem konsiliasi
sangat menonjol sebagai alternatif. Mereka cenderung mencari penyelesaian
melelui konsiliasi daripada mengajukan ke pengadilan.
Di
negara-negara yang dikemukakan di atas, lembaga konsiliasi merupakan rangkaian
mata rantai dari sistem penyelesaian sengketa dengan langkah-langkah sebagai
berikut:
-
Pertama; penyelesaian diajukan dulu pada mediasi
-
Kedua; bila mediasi gagal, bisa dicoba mencari penyelesaian
melalui minirial
-
Ketiga; apabila upaya ini gagal, disepakati untuk
mencari penyelesaian melalui kosolidasi,
-
Keempat; bila konsiliasi tidak berhasil, baru diajukan
ke arbitrase.
Memang, setiap kegagalan pada satu sistem, penyelesaian sengketa dapat langsung diajukan perkaranya ke pengadilan (ordinary court).
Memang, setiap kegagalan pada satu sistem, penyelesaian sengketa dapat langsung diajukan perkaranya ke pengadilan (ordinary court).
Misalnya,
mediasi gagal. Para pihak langsung mencari penyelesaian melalui proses
berperkara di pengadilan. Akan tetapi pada saat sekarang jarang hal itu
ditempuh. Mereka lebih suka mencari penyelesaian melalui sistem alternatif,
daripada langsung mengajukan ke pengadilan. Jadi di negara-negara yang disebut
di atas, benar-benar menempatkan kedudukan dan keberadaan pengadilan sebagai
the last resort, bukan lagi sebagai the first resort.
Biasanya
lembaga konsiliasi merupakan salah satu bagian kegiatan lembaga arbitrase,
arbitrase institusional, bertindak juga sebagai conciliation yang bertindak
sebagai conciliator adalah panel yang terdaftar pada Arbitrase Institusional
yang bersangkutan:
-
Sengketa yang diselesaikan oleh lembaga konsiliasi pada
umumnya meliputi sengketa bisnis,
-
Hasil penyelesaian yang diambil berbentuk resolution,
bukan putusan atau award (verdict),
-
Oleh karena itu, hasil penyelesaian yang berbentuk
resolusi tidak dapat diminta eksekusi ke pengadilan,
-
Dengan demikian, walaupun resolusi memeng itu bersifat
binding (mengikat) kepada para pihak, apabila salah satu pihak tidak menaati
dengan sukarela tidak dapat diminta eksekusi ke pengadilan. Dalam hal yang
seperti itu penyelesaian selanjutnya harus mengajukan gugatan ke pengadilan.
d. Sistem
Adjudication
Sistem
Adjudication merupakan salah satu alternatif penyelesaian sengketa bisnis yang
baru berkembang di beberapa negara. Sistem ini sudah mulai populer di Amerika
dan Hongkong.
Secara
harafiah, pengertian “ajuddication” adalah putusan. Dan memang demikian halnya.
Para pihak yang bersengketa sepakat meminta kepada seseorang untuk menjatuhkan
putusan atas sengketa yang timbul diantara mereka:
-
Orang yang diminta bertindak dalam adjudication disebut
adjudicator
-
Dan dia berperan dan berfungsi seolah-olah sebagai HAIM
(act as judge)
-
Oleh karena itu, dia diberi hak mengambil putusan (give
decision).
Pada prinsipnya, sengketa yang diselesaikan melalui sistem adjudication adalah sengketa yang sangat khusus dan kompleks (complicated).
Pada prinsipnya, sengketa yang diselesaikan melalui sistem adjudication adalah sengketa yang sangat khusus dan kompleks (complicated).
Proses penyelesaian sengketa
meleui sistem ini, sangat sederhana. Apabila timbul sengketa:
-
Para pihak membuat kesepakatan penyelesaian melaui
adjudication,
-
Berdasar persetujuan ini, mereka menunjuk seorang
adjudicator yang benar-benar profesional,
-
Dalam kesepakatan itu, kedua belah pihak diberi
kewenangan (authority) kepada adjudicator untuk mengabil keputusan (decision)
yang mengikat kepada kedua belah pihak (binding to each party),
-
Sebelum mengambil keputusan, adjudicator dapat meminta
informasi dari kedua belah pihak, baik secara terpisah maupun secara
bersama-sama.
e. Sistem
Arbitrase
Mengenai
arbitrase, sudah lama dikenal. Semula dikenal oleh Inggris dan Amerika pada
tahun 1779 melaui Jay Treaty. Berdasar data ini, perkembangan arbitrase sebagai
salah satu sistem alternatif tempat penyelesaian sengketa, sudah berjalan selam
adua abad.Sekarang semua negara di dunia telah memiliki Undang-undang
arbitrase.
Di
Indonesia ketentuan arbitrase diatur dalam Buku Ketiga RV. Dengan demikian,
umurnya sudah terlampau tua, karena RV dikodifikasi pada tahun 1884. Oleh
karena itu, aturan yang terdapat didalamnya sudah ketinggalan, jika
dibandingkan dengan perkembangan kebutuhan.
Memang banyak persamaan prinsip antara arbitrase dengan sistem alternatif yang lain tadi, seperti:
Memang banyak persamaan prinsip antara arbitrase dengan sistem alternatif yang lain tadi, seperti:
-
Sederhana dan cepat (informal dan quick),
-
Prinsip konfidensial,
-
Diselesaikan oleh pihak ketiga netral yang memiliki
pengetahuan khusus secara profesional.
Namun, demikian, di balik
persamaan itu terdapat perbedaan dianggap fundamental, sehingga dunia bisnis
lebih cenderung memiliki mediation, minitrial atau adjusdication. Perbedaan
yang dianggap fundamental, antara lain dapat dikemukakan hal-hal sebagai
berikut:
-
Masalah biaya, dianggap sangat mahal (expensive). Biaya
yang harus dikeluarkan penyelesaian arbitrase, hampir sama adengan biaya
litigasi di pengadilan. Terdapat beberapa komponen biaya yang harus
dikeluarkan, sehingga terkadang jauh lebih besar biaya dengan apa yang harus
dikeluarkan bila perkara diajukan ke pengadilan.
Komponen biaya atrbitrase
terdiri dari:
-
Biaya administrasi
-
Honor arbitrator
-
Biaya transportasi dan akomodasi arbitrator
-
Biaya saksi dan ahli.
Komponen biaya yang seperti
itu, tidak ada dalam mediasi atau minitrial. Jika pun ada biaya yang harus
dikeluarkan, jauh lebih kecil. Apalagi mediasi, boleh dikatakan tanpa biaya
atau nominal cost.
Masalah sederhana dan cepat.
Memang benar salah satu prinsip pokok penyelesaian sengketa melalui arbitrase
adalah informal procedure and can be put in motion quickly. Jadi prinsipnya
informal dan cepatI. Tetapi kenyataan yang terjadi adalah lain. Tanpa
mengurangi banyaknya sengketa yang diselesaikan arbitrase dalam jangka waktu
60-90 hari, Namun banyak pula penyelesaian yang memakan waktu panjang. Bahkan
ada yang bertahun-tahun atau puluhan tahun. Apalagi timbul perbedaan pendapat
mengenai penunjukkan arbitrase, Rule yang disepakati atau hukum yang hendak
diterapkan (governing law), membuat proses penyelesaian bertambah rumit dan
panjang.
Kelebihan tersebut antara
lain:
-
Dijamin kerahasiaan sengketa para pihak
-
Dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan karena prosedural
dan administratif;
-
Para pihak dapat memilih arbiter yang menurut
keyakinannya mempunyai pengetahuan, pengalaman serta latar belakang yang cukup
mengenai masalah yang disengketakan, jujur dan adil;
-
Para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk
menyelesaikan masalahnya serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase; dan
-
Putusan arbitrase merupakan putusan yang mengikat para
pihak dan dengan melalui tata cara (prosedur) yang sederhana saja ataupun
langsung dapat dilaksanakan.
Secara garis besar dapat
dikatakan bahwa penyelesaian sengketa dapat digolongkan dalam 3 (tiga)
golongan, yaitu:
-
Penyelesaian sengketa dengan menggunakan negosiasi,
baik yang bersifat langsung (negtation simplister) maupun dengan penyertaan
pihak ketiga (mediasi dan konsiliasi),
-
Penyelesaian sengketa dengan cara litigasi, baik yang
bersifat nasional maupun internasional.
-
Penyelesaian sengketa dengan menggunakan arbitrase,
baik yang bersifat ad-hoc yang terlembaga.
Arbitrase secara umum dapat
dilakukan dalam penyelesaian sengketa publik maupun perdata, namun dalam
perkembangannya arbitrase lebih banyak dipilih untuk menyelesaikan sengketa
kontraktual (perdata). Sengketa perdata dapat digolongkan menjadi:
-
Quality arbitration, yang menyangkut permasalahan
faktual (question of fact) yang dengan sendirinya memerlukan para arbiter
dengan kualifikasi teknis yang tinggi.
-
Technical arbitration, yang tidak menyangkut
permasalahan faktual, sebagaimana halnya dengan masalah yang timbul dalam
dokumen (construction of document) atau aplikasi ketentuan-ketentuan kontrak.
-
Mixed arbitration, sengketa mengenai permasalahan
faktual dan hukum (question of fact and law).
SUMBER :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar