Distribusi Pendapatan dan Kemiskinan di Indonesia
Cara distribusi pendapatan nasional akan menentukan
bagaimana pandapatan nasional yang tinggi mampu menciptakan perubahan-perubahan
dan perbaikanperbaikan dalam masyarakat, seperti mengurangi kemiskinan,
penganguran dan kesulitan-kesulitan lain dalam masyarakat. Distribusi
pendapatan nasional yang tidak merata, tidak akan menciptakan kemakmuran bagi
masyarakat secara umum. Sistem distribusi yang tidak merata hanya akan
menciptakan kemakmuran bagi golongan tertentu saja.
Perbedaan pandapatan timbul karena adanya perbedaan dalam
kepemilikan sumber daya dan faktor produksi. Pihak yang memiliki faktor
produksi yang lebih banyak akan memperoleh pendapatan yang lebih banyak juga.
Ada sejumlah alat atau media untuk mengukur tingkat
ketimpangan distribusi pendapatan. Alat atau media yang lazim digunakan adalah
Koefisien Gini (Gini Ratio) dan cara perhitungan yang digunakan oleh Bank
Dunia.
Koefisien Gini biasanya diperlihatkan oleh kurva yang
dinamakan Kurva Lorenz. Kurva ini memperlihatkan hubungan kuantitatif antara
prosentase penerimaan pendapatan penduduk dengan prosentase pendapatan yang
benar-benar diperoleh selama kurun waktu tertentu, biasanya setahun.
pembagian
pendapatan
•
Menggambarkan bagian dari pendapatan yang diterima oleh para pemilik
faktor produksi.
•
Menggambarkan variabilitas atau dispersi (penyebaran) pendapatan.
Menurut teori neoklasik, perbedaan kepemilikan faktor
produksi, lama kelamaan akan hilang atau berkurang melalui suatu proses
penyesuaian otomatis. Bila proses otomatis tersebut masih belum mampu
menurunkan perbedaan pendapatan yang sangat timpang, maka dapat dilakukan
melalui sistem perpajakan dan subsidi. Kedua sistem ini dapat digunakan sebagai
sarana untuk melakukan redistribusi pendapatan.
Penetapan pajak pendapatan/penghasilan akan mengurangi
pendapatan penduduk yang pendapatannya tinggi. Sebaliknya subsidi akan membantu
penduduk yang pendapatannya rendah, asalkan tidak salah sasaran dalam
pemberiannya. Pajak yang telah dipungut apalagi menggunakan sistem tarif
progresif (semakin tinggi pendapatan, semakin tinggi prosentase tarifnya), oleh
pemerintah digunakan untuk membiayai roda pemerintahan, subsidi dan proyek
pembangunan. Dari sinilah terjadi proses redistribusi pendapatan yang akan
mengurangi terjadinya ketimpangan.
Arti
Kemiskinan
Kemiskinan adalah keadaan
dimana terjadi ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan ,
pakaian , tempat berlindung, pendidikan, dan kesehatan. Kemiskinan dapat
disebabkan oleh kelangkaan alat pemenuh kebutuhan dasar, ataupun sulitnya akses
terhadap pendidikan dan pekerjaan. Kemiskinan merupakan masalah global.
Sebagian orang memahami istilah ini secara subyektif dan komparatif, sementara
yang lainnya melihatnya dari segi moral dan evaluatif, dan yang lainnya lagi
memahaminya dari sudut ilmiah yang telah mapan.
Kemiskinan dipahami
dalam berbagai cara. Pemahaman utamanya mencakup:
- Gambaran kekurangan materi, yang biasanya mencakup kebutuhan pangan sehari-hari, sandang, perumahan, dan pelayanan kesehatan. Kemiskinan dalam arti ini dipahami sebagai situasi kelangkaan barang-barang dan pelayanan dasar.
- Gambaran tentang kebutuhan sosial, termasuk keterkucilan sosial, ketergantungan, dan ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam masyarakat. Hal ini termasuk pendidikan dan informasi. Keterkucilan sosial biasanya dibedakan dari kemiskinan, karena hal ini mencakup masalah-masalah politik dan moral, dan tidak dibatasi pada bidang ekonomi.
- Gambaran tentang kurangnya penghasilan dan kekayaan yang memadai. Makna "memadai" di sini sangat berbeda-beda melintasi bagian-bagian politik dan ekonomi di seluruh dunia.
Menganalisis
Tentang Distribusi Pendapatan
Tingginya Produk Domestik Bruto (PDB)
suatu negara belum tentu mencerminkan meratanya terhadap distribusi pendapatan. Kenyataan menunjukkan
bahwa pendapatan masyarakat tidak selalu merata, bahkan kecendrungan yang terjadi
justru sebaliknya.
Distribusi pendapatan yang tidak merata
akan mengakibatkan terjadinya disparitas. Semakin besar perbedaan pembagian
“kue” pembangunan, semakin besar pula disparitas distribusi pendapatan yang
terjadi. Indonesia yang tergolong dalam negara yang sedang berkembang tidak
terlepas dari permasalahan ini. Kebijakan-kebijakan stabilisasi yang diambil
oleh presiden Soeharto dan tim ekonominya dari tahun 1966 sampai tahun 1969
sangat sukses dalam upaya menurunkan inflasi ke level digit satu, dan
memulihkan perekonomian menuju pertumbuhan ekonomi yang terus menerus.
Namun dampaknya terhadap ketimpangan
pendapatan menimbulkan banyak perdebatan. King dan Weldon (1977) dalam Booth
(2000), membandingkan data pendapatan rumah tangga dan pengeluaran rumah tangga
dari beberapa sumber untuk pulau jawa pada tahun 1963-1964 hingga tahun 1970. Mereka menemukan fakta terdapatnya
ketidakmerataan pertumbuhan di daerah perkotaan (terutama Jakarta) walaupun di
daerah pedesaan jauh lebih tidak mencolok.
Pada tahun 1964 -1965, ketika inflasi
dan dislocation ekonomi tinggi, menunjukan bahwa inflasi dan stagnasi ekonomi
mempunyai pengaruh lebih kuat terhadap pekerja urban. terutama mereka yang
mempunyai pendapatan tetap, seperti pegawai pemerintah. Di daerah pedesaan, the
better-off farmers yang mempunyai surplus makanan untuk dijual meningkatkan
pendapatan relative mereka para pekerja urban
dan orang miskin pedesaan. Ini menjelaskan, bahwa pada pertengahan 1960
ketimpangan antara pedesaan dan perkotaan dalam hal pengeluaran konsumsi rendah. Penemuan yang mengejutkan,
menunjukkan bahwa ketidakmerataan sebenarnya lebih rendah di perkotaan dari
pada di daerah pedesaan (sundrum 1973). Tren ini berubah secara lambat ketika inflasi
turun dan pertumbuhan ekonomi meningkat.
Pada tahun 1969 – 1970, Gini cooficient
pengeluaran konsumsi perkapita di pedesaan Indonesia 0,34, yang mengindikasikan
tingkat ketidakmerataan. Hal ini sedikit lebih rendah di daerah perkotaan,
dimana berdasarkan survey tentang biaya hidup pada tahun 1968 – 1969 menunjukan
bahwa Gini coefficient pendapatan rumah tangga sebesar 0.4 di Jakarta, Manado
dan Yogyakarta, walaupun Gini cooficient di Bandung dan Surabaya, dan
kebanyakan kota besar diluar jawa lebih rendah. Kesenjangan pengeluaran
juga meningkat antara 1969-1970 hingga 1976, baik di perkotaan maupun
pedesaan. Sebagaimana yang Asra (1989) dalam Booth (2000) tunjukkan, jika data
pengeluaran pedesaan yang diambil pada 1976 dikoreksi berdasarkan perubahan
harga yang berbeda oleh kelompok-kelompok desil, maka ketidakmerataan
pengeluaran di pedesaan meningkat baik di
pulau Jawa maupun di luar pulau Jawa.
Di daerah perkotaan Jawa ketidakmetaraan
dalam pengeluaran juga meningkat; Booth dan Sundrum (1981) memperkirakan bahwa
pengeluaran di atas kelompok desil Jawa perkotaan meningkat 66% antara 1970 -
1976, dibandingkan dengan kenaikan kurang dari 20% di bawah kelompok desil.
Rata-rata pengeluaran riil per kapita meningkat lebih cepat di Jakarta daripada
di daerah perkotaan lainnya, dan lebih cepat di daerah perkotaan Jawa daripada
di daerah perkotaan di luar pulau Jawa. Dampak dari trend ini adalah terdapatnya kesenjangan yang tajam antara
perkotaan dan perdesaan, terutama di Jawa khususnya terhadap barang-barang nonmakanan.
Beberapa trend ini kembali terjadi di
tahun 1976 – 1981. Perhitungan Asra
menyatakan bahwa antara tahun 1976 – 1981, laju inflasi secara umum sama untuk
semua kelompok desil pengeluaran dalam distribusi, baik di Jawa dan di tempat
lain. Di daerah pedesaan ada penurunan ketidakmerataan pengeluaran.
Di pedesaan Jawa rata-rata pengeluaran riil per kapita
meningkat dengan pesat, namun menurun di daerah pedesaan luar Jawa. Evaluasi
terhadap distribusi hasil pembangunan yang telah dilaksanakan selama lebih dari
64 tahun selalu menyisakan problema mendasar tentang disparitas yang tidak
pernah terselesaikan, dan hingga sekarang alasan untuk ini belum ditemukan.
Sebuah analisis data panel yang dilakukan oleh Resosudarmo, et al. (2006)
menegaskan bahwa kesenjangan dalam pendapatan per kapita provinsi di
Indonesia relatif parah.
Hal ini didasarkan pada fenomena, bahwa
meskipun pertumbuhan PDB provinsi bervariasi dari waktu ke waktu, ada beberapa
provinsi yang selalu, atau hampir selalu, berada di antara lima provinsi
terkaya dan yang lain di antara lima termiskin. Kalimantan Timur, Riau, dan
Jakarta selalu di antara provinsi terkaya dan Aceh telah dianggap sebagai
provinsi yang memiliki PDB per kapita yang tinggi sejak awal 1980-an, sedangkan
NTT selalu berada di antara yang termiskin.
Kemiskinan yang
Dikemukakan Oleh Beberapa Ahli
- BAPPENAS (1993) mendefisnisikan keimiskinan sebagai situasi serba kekurangan yang terjadi bukan karena kehendak oleh si miskin, melainkan karena keadaan yang tidak dapat dihindari dengan kekuatan yang ada padanya.
- Levitan (1980) mengemukakan kemiskinan adalah kekurangan barang-barang dan pelayanan-pelayanan yang dibutuhkan untuk mencapai suatu standar hidup yang layaFaturchman dan Marcelinus Molo (1994) mendefenisikan bahwa kemiskinan adalah ketidakmampuan individu dan atau rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan dasarnya.
- Menurut Ellis (1994) kemiskinan merupakan gejala multidimensional yang dapat ditelaah dari dimensi ekonomi, sosial politik.
- Menurut Suparlan (1993) kemiskinan didefinisikan sebagai suatu standar tingkat hidup yang rendah, yaitu adanya suatu tingkat kekurangan materi pada sejumlah atau segolongan orang dibandingkan dengan standar kehidupan yang umum berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.
- Reitsma dan Kleinpenning (1994) mendefisnisikan kemiskinan sebagai ketidakmampuan seseorang untuk memenuhi kebutuhannya, baik yang bersifat material maupun non material.
- Friedman (1979) mengemukakan kemiskinan adalah ketidaksamaan kesempatan untuk memformulasikan basis kekuasaan sosial, yang meliptui : asset (tanah, perumahan, peralatan, kesehatan), sumber keuangan (pendapatan dan kredit yang memadai), organisiasi sosial politik yang dapat dimanfaatkan untuk mencapai kepentingan bersama, jaringan sosial untuk memperoleh pekerjaan, barang atau jasa, pengetahuan dan keterampilan yang memadai, dan informasi yang berguna.
Pertumbuhan Dan
Pemerataan dalam Konteks Pembangunan Ekonomi Indonesia
Pembangunan ekonomi adalah suatu proses kenaikan pendapatan total
dan pendapatan perkapita dengan memperhitungkan adanya pertambahan penduduk dan disertai dengan perubahan fundamental dalam
struktur ekonomi suatu negara dan pemerataan pendapatan bagi penduduk suatu
negara. Pembangunan ekonomi tak dapat lepas dari pertumbuhan ekonomi (economic
growth); pembangunan ekonomi mendorong pertumbuhan ekonomi, dan sebaliknya,
pertumbuhan ekonomi memperlancar proses pembangunan ekonomi.
Yang dimaksud dengan pertumbuhan ekonomi adalah proses kenaikan kapasitas produksi
suatu perekonomian yang diwujudkan dalam bentuk kenaikan pendapatan nasional.
Suatu negara dikatakan mengalami pertumbuhan ekonomi apabila terjadi
peningkatan GNP riil di
negara tersebut. Adanya pertumbuhan ekonomi merupakan indikasi keberhasilan
pembangunan ekonomi.
Perbedaan antara keduanya adalah pertumbuhan ekonomi keberhasilannya lebih
bersifat kuantitatif, yaitu adanya kenaikan dalam standar pendapatan dan tingkat
output produksi yang dihasilkan, sedangkan pembangunan ekonomi lebih bersifat
kualitatif, bukan hanya pertambahan produksi, tetapi juga terdapat
perubahan-perubahan dalam struktur produksi dan alokasi input pada berbagai
sektor perekonomian seperti dalam lembaga, pengetahuan, sosial dan teknik.
Selanjutnya pembangunan ekonomi diartikan sebagai suatu proses yang
menyebabkan pendapatan perkapita penduduk meningkat dalam jangka panjang. Di
sini terdapat tiga elemen penting yang berkaitan dengan pembangunan ekonomi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar